BANGKABELITUNGPOS.COM – Begitu banyak momen bermakna di bulan Agustus 2021 bagi kehidupan berbangsa dan kedaerahan. Seminggu lalu kita memperingati hari jadi Provinsi Riau yang saat sama diperingati tahun baru Islam 1 Muharram 1443 H. Dua momen punya esensi sama: mengevaluasi apa yang telah dilakukan dan memproyeksi agenda ke depan menuju arah lebih baik. Puncak dari semua peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 76.
Sebagaimana biasa, momen ini selalu diwarnai beragam ekspresi. Karena perayaan dan perlombaan dibatasi, sekarang tersisa “lomba” berpendapat, beropini dan uneg-uneg. Hal paling sering dipertanyakan adalah apakah hakikat kemerdekaan telah terwujud? Pertanyaan yang cukup beralasan. Mengingat kemerdekaan bukan sekedar upacara, pidato dan seremoni. Ada amanah besar. Para pejuang merebut kemerdekaan bertaruh harta, pikiran hingga nyawa; tanpa rasa takut meski ancaman atas diri dan keluarga. Adapun generasi sekarang dan mendatang, punya tugas menjaga warisan perjuangan mereka.
Menjaga warisan kemerdekaan dapat diartikan berupaya mewujudkan cita-cita bangsa yang termaktub di UUD 1945 dan Pancasila. Dalam suasana peringatan kemerdekaan, menagih apa yang telah diberikan adalah pertanyaan sekaligus pernyataan paling sering diajukan. Dengan maksud agar tergerak berkontribusi positif bagi lingkungan, bangsa dan negara dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan. Namun upaya menagih kontribusi terkesan timpang. Masyarakat lebih sering jadi objek yang perlu dan selalu dipertanyakan dedikasi dan kontribusi. Sementara negara (baca: Pemerintah) selaku penerima mandat dari rakyat belum menunaikan amanah kemerdekaan secara ideal. Di saat pandemi segala pencitraan terbongkar. Tampak mana yang amanah dan benar-benar bekerja demi warga. Manusia memang ada cela, disinilah sanggahan dan kritikan ibarat obat yang menyembuhkan. Namun ironisnya, belakangan hak kemerdekaan masyarakat berpendapat dan bersuara terhadap isu-isu publik seperti tergerus. Coretan dinding curahan hati warga diurus serius sementara baliho politik masif di masa-masa pelik. Hilangnya hak berpendapat jelas pengkhianatan terbesar atas warisan kemerdekaan.
Krisis
Aspek pemerintahan perlu diketengahkan mengingat perannya. Sebagai abdi rakyat yang disumpah mengurus hajat publik. Menjaga warisan kemerdekaan dalam lingkup pemerintahan adalah bicara bagaimana eksekutif dan legislatif bersinergi, bekerja dan menjaga agar setiap sumber daya negeri ini dapat sepenuhnya dirasakan dan dinikmati manfaatnya oleh rakyat; menjamin keberpihakan anggaran terhadap pemenuhan hak mendasar berupa barang publik (public goods): pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan kehidupan layak. Patut disayangkan kepercayaan masyarakat terhadap negara bukan menguat malah makin “menguatirkan”. Fenomena tadi bukan sinyal yang baik. Bahkan suara masyarakat menilai kekuasaan malah berpihak kepada kelompok tertentu. Anasir tadi muncul bukan tanpa sebab. Isu-isu produk kebijakan dan regulasi semisal UU Ciptaker yang diprotes karena mengedepankan kepentingan kelompok tertentu hingga terkesan melanggengkan oligarki. Ditambah fenomena penegakan hukum menciderai keadilan dan pengambil kebijakan belum sepenuhnya melaksanakan tugas pokok dan fungsi melindungi masyarakat selama pandemi.
Bangsa benar-benar berada di fase sangat serius. Krisis kesehatan akibat pandemi menciptakan “wabah” baru dan lubang krisis di berbagai lini dan dimensi. Memang kampanye dan kebijakan kesehatan pencegahan penularan harus ditempuh. Namun sayangnya, jika diibaratkan gulungan ombak, pemerintah hanya melihat gulungan “ombak” Covid 19 tapi abai di belakang itu ada gulungan ombak lebih besar siap menerjang. Peningkatan angka kemiskinan, pengangguran dan lain-lain semua membawa ekses negatif. Pemerintah, akademisi dan praktisi teriak Prokes, sementara rakyat teriak lapar. Dalam situasi “simalakama” sulit berharap warga peduli ancaman wabah. Ditambah kebijakan pembatasan sosial Pemerintah tanpa konsep jelas. Gonta-ganti istilah guna menghindari beleid karantina hingga pembatasan sosial tanpa kejelasan waktu serta tanpa jaminan dan kepastian kebutuhan hidup bagi warga. Bahkan di Riau, Pemda menyerah ketika ditanya jaring pengaman sosial dan mengharapkan solidaritas dari swasta dan komponen masyarakat. Belum lagi tenaga kesehatan bertaruh nyawa tanpa proteksi maksimal dari segi insentif dan keselamatan. Berikut bidang pendidikan, peralihan sekolah ke cara online membebani keuangan rumah tangga apalagi biaya sekolah tetap berlaku. Efek bola salju paling dikhawatirkan eskalasi kekerasan, kriminalitas hingga ketahanan keluarga. Untuk disinggung terakhir, data pengadilan agama di sejumlah daerah menunjukan lonjakan angka perceraian selama pandemi.
Jalankan Peran
Dalamnya permasalahan butuh kelihaian memilih strategi. Supaya tidak terakumulasi menjadi krisis sosial dan politik. Bersempena dengan HUT RI, Pemerintah mengusung tema Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh. Pemilihan motto diharapkan bukan lagi lip service. Harus ada komitmen dan itikad kuat untuk mengejawantahkannya sebagaimana perjuangan pendahulu di masa kemerdekaan. Mewujudkan Indonesia tangguh butuh inisiatif dan tekad baja. Di sisi Pemerintah perlu merevolusi mental agar penyelenggaraan pemerintahan punya sense of crisis. Tak ada yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari kondisi krisis kecuali kita. Menumbuhkan optimisme bukan modal pidato. Antara pikiran, ucapan dan tindakan sektor kepemimpinan mesti sinkron. Kebijakan penganggaran harus rasional dan efektif. Teruntuk regulasi perlu keberpihakan kepada kepentingan nasional. Termasuk semisal investasi perlu bijak, supaya tidak jadi dalih membuka seluas-luasnya pintu bagi kepentingan luar. Proteksi terhadap komoditas dan produk dalam negeri atau usaha lokal harus diprioritaskan, untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan memaksimalkan ekspor. Pro investasi tetap, namun tujuan utama demi memperkuat kedaulatan ekonomi negeri.
Terkait ini, kembalinya Blok Rokan di Riau ke pangkuan ibu pertiwi relevan diangkat. Patut disyukuri kini dapat dikelola sendiri setelah sebelumnya berada dalam pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) selama 97 tahun. Kita harus berani dan harus mampu mengelola sumber daya alam sendiri. Malu dengan Malaysia yang bisa melahirkan Petronas sebagai pemain utama Migas padahal dulu perusahaan tersebut banyak belajar ke Pertamina. Mengelola sumber daya alam sendiri dan memperkuat kedaulatan ekonomi negeri adalah cara menyelamatkan bangsa dari krisis. Disamping peran pengambil kebijakan, kita punya peran masing-masing dalam menjaga warisan kemerdekaan. Di sisi sosial kemasyarakatan, semangat dan tekad bergotong-royong dan kepedulian terhadap sesama terbukti masih kuat. Modal sosial tersebut harus terus dirawat dan dilestarikan. Soliditas dan solidaritas yang ditunjukan warga selama pandemi adalah nilai-nilai yang menjaga Indonesia tetap tangguh. Adapun di pihak pengambil kebijakan yang diamanahi kekuasaan, lakukan tugas dan kewajiban yang telah dimandatkan oleh rakyat. Ketika setiap pihak menjalankan perannya masing-masing dengan ideal, maka saat itulah Indonesia akan tumbuh dan bangkit dari situasi dan kondisi sulit.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi bangkabelitungpos.com