BANGKABELITUNGPOS.COM – Pertanyan ini masih menjadi banyak perdebatan para tokoh dan cendikiawan dari berbagai belahan bumi. Benarkah manusia multidimensi di zaman sekarang telah menjadi manusia berdimensi tunggal? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengenal tokoh yang mencetuskan pemikiran tersebut. Ia merupakan pria bernama Herbert Marcuse yang lahir di Berlin, Jerman pada 19 Juli 1898. Banyak pihak menyebutnya sebagai Bapak gerakan Kiri Baru dengan karya terbaiknya, Eros and Civilization, One-Dimensional Man, dan The Aesthetic Dimension. Marcuse merupakan sosok intelektual yang memberi pengaruh besar pada gerakan Kiri Baru dan gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an.
Herbert Marcuse, sebagai filsuf politik Jerman – Amerika Serikat (AS), juga sebagai anggota Institut Penelitian Sosial Frankfurt yang mengungsi ke AS karena tekanan politik di Jerman ketika Nazi Hitler berkuasa. Perang Dunia II, ia berperan sebagai anggota intelijen AS dan sesudahnya mengajar di sejumlah universitas di negeri tersebut, seperti Universitas Brandeis (1954 – 1965) dan Universitas California di San Diego (1965 – 1976). Pemikirannya dalam filsafat politik di pengaruhi oleh Machiavelli, Rousseau, Hobbes, Kant, Hegel, Kierkegaard, Marx, Nietzsche, Freud, Husserl, Heidegger, Lukacs, dan Friedrich Schiller. Pemikirannya dalam bidang filsafat politik berpengaruh kuat terhadap filsuf politik, seperti Norman O. Brown, Angela Davis, Andrew Feenberg, Jurgen Habermas, Abbie Hoffman, Gad Horowitz, Douglas Kellner, William Leiss, Henri Lefebvre dan Bob Black.
Perjalanan karir Marcuse dimulai saat ia berimigrasi ke AS pada tahun 1934 dan menjadi warga negara AS pada tahun 1940. Meskipun ia tak pernah kembali ke Jerman untuk menetap, karya – karyanya tetap bernapaskan semangat Institut Penelitian Sosial Frankfurt bersama Max Horkheimer dan Theodor W Adorno. Pada tahun 1940 ia memublikasikan Reason and Revolution, sebuah karya dialektik yang meneliti Georg W.F. Hegel dan Karl Marx. Selama perang Dunia II, Marcuse pertama – tama bekerja untuk U.S Office of War Information (OWI) mengenai proyek propaganda anti-Nazi.
Pada tahun 1952 – 1965, ia memulai karier sebagai teoretikus politik, pertama di Universitas Columbia, lalu di Universitas Harvard, kemudian di Universitas Brandeis, dan Universitas California di San Diego. Di universitas – universitas tersebut, Marcuse mematangkan pemikiran dan gerakan Kiri baru, New Left, bersama teman – temannya, seperti C.Wright Mills. Pada periode pascaperang, Marcuse dikenal secara eksplisit paling politis dan paling kiri di antara anggota Mazhab Frankurt. Marcuse terus menerus mengindentifikasi dirinya sebagai Marxis, sosialis, dan seorang Hegelian. Kritik Marcuse atas masyarakat kapitalis (khususnya sintesisnya terhadap Marx dan Freud) diterbitkan sebagai buku dengan judul Eros and Civilization (1955). Keterlibatan secara intens dalam gerakan mahasiswa kiri pada tahun 1960-an membuat Marcuse dijuluki “bapak Kiri Baru di AS”, meskipun ia tidak suda dengan julukan tersebut.
Karya – karyanya sangat memengaruhi diskursu Intelektual mengenai budaya populer di AS dan Eropa di era 1960an -1970an. Ia menjadi teman dekat dari dan inspirator bagi filsuf Perancis, Andre Gorz. Marcuse juga mengkritik penahanan pemberontak Jerman Timur, Rudolf Bahro (pengarang Die Alternative: Zur Kritik de real existierenden Sozialismus {terjemahan The Alternative in Eastern Europe}). Karya – karya intelektual dan praksis politik Marcuse dapat diringkas dalam dua pokok pemikiran, yakni manusia satu dimensi dan masyarakat teknokratis.
Pemikiran Manusia Multidimensi menjadi Manusia Berdimensi Tungga
Pada 1933, Marcuse mempublikasikan ulasan utama pertamanya dari tulisan Marx yang berjudul Economic and Philosophical Manuscripts of 1844. Pada ulasan ini Marcuse merevisi interpretasi atas Marxisme, dari sudut pandang karya awal Marx. Ulasan ini membantu dunia memandang Marcuse sebagai seseorang yang mulai menjadi teoretikus paling menjanjikan pada generasinya.
Tiga bukunya yang membahas pereduksian manusia multi dimensi menjadi manusia berdimensi tunggal adalah One Dimensional Man (1964), Eros and Civilization (1955), dan Counterrevolution and Revolt (1972). Dalam karya – karya ini, Marcuse mengatakan bahwa manusia dalam masyarakat kapitalis yang telah maju adalah manusia yang tidak bebas, represif, dan bahwa manusia modern itu secara intelektual dan psikologis menjadi nyaman lewat ketergantungan secara psikologis pada persuasi masyarakat konsumeristik. Ketergantungan itu merupakan sebuah gejala yang ia namakan “desublimasi represif” (repressive desublimation). Contoh masyarakat represif itu adalah masyarakat kapitalis maju dan sistem Soviet, keduanya menindas kebebasan dan merupakan salah paham dalam penerapan proyek pencerahan dan Marxisme.
Masyarakat industri maju menciptakan kebutuhan palsu melalui media iklan yang mengerangkeng individu dalam sistem produksi dan konsumsi. Masyarakat dalam sistem Soviet mengerangkeng kebebasan melalui birokrasi politbiro. Bagaimana masyaraka tanpa represi harus diciptakan? Marcuse mencoba membuat sintesis atas pemikiran Freud dan Marx guna meletakkan kerangka pembebasan masyarakat dari represi sehingga mampu melihat alternatif kehidupan yang berdimensi majemuk, menurut kebebasan sejati manusia. Asal – usul pereduksian manusia satu dimensi dapat ditelusuri dari sumber – sumber filsafat subjek dalam pemikiran Reni Descrates dan Immanuel Kant sehingga filsafat harus diberi orientasi baru pada makna keberadaan subjek dalam dunia sosial, dalam filsafat, khususnya pemikiran fenomenologi G.F.W.Hegel dan M.Heidegger.
Lahirnya Masyarakat Teknokratis
Marcuse memandang dampak dari teknologi ini, yang melahirkan masyarakat teknokratis dan merupakan akibat dari penerapan filsafat subjek yang melalui rasio universal mendefenisikan kemajuan masyarakat sebagai akibat penggunaan ilmu – ilmu empiris, khususnya positivisme (empirisme) logis. Hukum akal budi (rasio) universal merupakan kunci untuk menaklukkan dunia objektif, dan menjadikannya berguna bagi manusia untuk mewujudkan kepentingan – kepentingan ekonomi melalui kerja. Dalam bukunya yang berjudul Reason and Revolution, Marcuse menjelaskan element konstitutif dari dialektika Hegel dengan tujuan untuk mengoreki akal budi (rasio) universal yang diklaim positivisme (empirisme) logis sebagai sintesis final yang menghasilkan kemajuan. Hegel mengatakan bahwa kekuatan penggerak dialektika adalah pemikiran negatif, yakni “tidak” terhadap yang sebelumnya. Apa yang diterima sebagai sintesis pada tahap sebelumnya tunduk pada hukum dialektika sehingga kemungkinan untuk negasi terhadap rasio universal tetap terbuka. Dalam pandangan dialektika, negasi menjadi elemen yang menentukan karena suatu negasi menghancurkan keadaan mapan dan menawarkan suatu alternatif yang baru. Dalam dialektika, apa yang terjadi sebagai negative thinking terhadap tesis sebelumnya adalah bagian dari proses dialektika yang bersifat historical thinking, dan historical thinking itu adalah sebuah critical thinking.
Dalam Teori Kritis, kemampuan akal budi (reason) tetap digunakan sebagai titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah, tetapi pemahaman akal budi secara kritis harus dilakukan karena keyakinan besar pada kemampuan akal budi sebagai sintesis filsafat subjek tampak tidak relevan lagi. Banyak filsuf dan intelektual mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal, padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.
Teori Kritis harus melibatkan dua kategori analisis atas rasion yakni apa yang patologis (misalnya krisis di masyarakat), dan apa yang tidak patologis (yang seharusnya terjadi). Akal budi sebagai rasio universal yang diklaim oleh filsafat subjek telah mengakibatkan patologi sosial secara masif dalam masyarakat modern menghasilkan masyarakat modern yang disebut Horkheimer sebagai “organisasi yang tidak masuk akal” (irrational organization), Adorno menyebutnya “dunia yang teradministrasi” (administered world), Marcuse menyebutnya masyaraka satu dimensi (one dimensional society) dan toleransi represif (repressive tolerance) dan Habernas kemudian menyebutnya dunia kehidupan yang terkolonisasi (colonization of the lifeworld). Semua contoh diatas sebenarnya menggambarkan satu hal bahwa masyarakat yang ada sekarang ini, yang diklaim terstruktur secara rasional, sebenarnya mengalami krisis rasionalitas dan perlu dinegasikan oleh pemahaman rasionalitas yang integratiff menjamin kebebasan manusia sebagai individu, dalam berbagai ikatan sosial.
Rasionalitas semacam itu oleh Marcuse diyakini dapat ditemukan di dalam praksis estetika. Estetika adalah ekspresi rasionalitas integratif dan dapat digunakan untuk menciptakan integrasi sosial, terutama integrasi sosial yang didasarkan pada identitas manusia dan dunia, yang memang belum terstruktur menjadi sistem. Kesatuan masyarakat yang adil dan makmur hanya dapat tercipta jika rasionalitas sungguh mewujud nyata di dalam tindakan orang – orang yang hidup melalui aktualisasi diri yang didasarkan pada intersubjektivitas.
Walaupun percaya pada kekuatan rasionalitas sebagai alat untuk memperbaiki krisis sosial, para pemikir Teori Kritis memiliki ciri khas mereka masing – masing. Mereka juga yakin bahwa di dalam keadaan kritis paling gawat sekalipun, manusia selalu bisa menggunakan rasionalitasnya. Namun rasionalitas itu tidak hanya mengenai akal, logika, dan metode ilmiah semata. Marcuse mengatakan bahwa dorongan kehidupan memiliki aspek estetik yang melibatkan rasionalitas, maka estetika memungkinkan manusia dapat mengatasi krisis.
Kita mengenal rasionalitas analitis – empiris dalam ilmu – ilmu positif bertujuan merealisasikan kepentingan teknis, melalui kerja nyata di dalam sosial Weberian, yang menekankan rasionalitas sebagai bentuk instrumental. Pandangan Weber tersebut dilihat sebagai inti dominasi, yang menyebar ke segala penjuru kehidupan, dan padar prosesnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melumpuhkan agen potensial dari perubahan sosial. Istilah yang digunakan Horkheimer dan Adorno adalah masyarakat yang diatur secara total yang kemudian oleh Marcuse disebut sebagai manusia satu dimensi.
Perluasan analisis Marx mengenai fetisisme komoditas dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kritis manusia yang dianggap sudah redup oleh komersialisme. Dengan bersikap kritis terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat modern, Marcuse dan kawan – kawannya di Mazhab Franfurt bermaksud memperlihatkan hal – hal yang menutupi penalaran manusia sebagai kesadaran palsu, yakni reifikasi, hegemoni dan dominas tanpa tawaran yang memperlihatkan alternatif.
Di dalam bukunya One Dimensional Man, Marcuse berpendapat bahwa ilmu pengetahun dan teknologi modern yang sebenarnya dapat membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja keras, ternyata menjadi sistem penguasaan yang total di dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah menjelma di dalam industri telah memproduksi barang konsumsi secara berlimpah – limpah sehingga sebenarnya idaman – idaman manusia untuk menciptakan welfare state (negara yang mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya) telah terwujud, dan dengan dengan jalan itu, manusia dapat merealisasikan kebahagiaan dan kebebasannya. Akan tetapi, menurut Marcuse, kebahagiaan dan kebebasan itu tidak jadi terwujud karena ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi itu bukannya mengabdi kepada manusia, melainkan justru manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia yang gandrung pada ilmu dan teknologi tanpa disadarinya sendiri ditelan oleh kekuasaan ilmu dan teknologi sebagai sistem total yang merangkum berbagai bidang kehidupan manusia.
Hukum – hukum teknologi, seperti ekstensifikasi, otomatisasi, standardisasi, dan mekanisme, seharusnya dapat membebaskan manusia dari kerja fisik, tetapi dalam kenyataannya hukum – hukum itu menjadi prinsip – prinsip atau hukum – hukum yang mengatur masyarakat manusia. Teknologi memaksakan tuntutan- tuntutan ekonomis dan politisnya kepada manusia.
Salah satu tuntutan teknologi adalah memproduksi barang sebanyak – banyaknya. Namun agar barang – barang ini dapat menghasilkan keuntungan yang semakin tinggi, barang – barang ini harus dijual. Melimpahnya barang tentu akan mengakibatkan turunnya harga. Akan tetapi, menurut Marcuse, masyarakat menyediakan suatu mekanisme untuk memanipulasi kebutuhan – kebutuhan, misalnya lewat iklan – iklan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat sebenarnya hanyalah kebutuhan palsu, yang sengaja ditanamkan dari luar oleh kepentingan – kepentingan sosial tertentu dalam represinya. Dengan adanya manipulasi dan instrumentalisasi kebutuhan – kebutuhan, masyarakat zaman kita menampakkan dirinya sebagai masyarakat totaliter karena kontrol teknologis itu sampai ke dimensi psikis manusia yang bersifat batiniah.
Dengan demikian, rasionalitas teknologis merupakan pemikiran yang identik dengan sistem. Dengan gagasan ini, Marcuse ingin menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah menjadi sebuah sistem yang merampas kebebasan manusia sampai ke dasar – dasarnya, tanpa manusia itu, yang terperangkap di dalam kontrol sistem teknologis itu, menyadari bahwa dirinya dikontrol oleh teknologi tersebut. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari – hari masyarakat justru menunjukkan dirinya sebagai masyarakat yang bebas dan terbuka. Dalam bidang ekonomi, manusia menikmati kelimpahan produksi tanpa merasa dikontrol oleh apa yang dinikmatinya. Sebagai konsumen, masyarakat hanya menginginkan agar apa yang dikehendakinya, seperti liburan, senda gurai, dan gaya hidup, sesuai dengan yang digambarkan dalam iklan – iklan. Namun, dengan cara itu, memang proses produksi terus berkembang, sekaligus juga manipulasi terus berlaku. Dalam bidang politik, masyarakat menampakkan dirinya sebagai masyaraka yang toleran melalui kebebasan mimbar, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan beroposisi, dan bahkan kebebasan seks. Dengan cara ini, manusia menunjukkan diri sebagai orang yang bebas dan rasional, padahal dibawah hukum keseluruhan yang represif karena kebebasan itu dapat dibuat menjadi alat dominasi yang sangat kuat.
Akhirnya, bahwa pandangan Marcuse terhadap kapitalisme bisa ditelusuri akarnya ke salah satu konsep utama Karl Marx: Objektifikasi. Marx percaya bahwa kapitalisme mengeksploitasi manusia; dan apa yang para buruh lakukan sejatinya adalah proses mendehumanisasi diri mereka menjadi objek fungsional. Marcuse mengambil pandangan ini dan mengembangkannya. Ia percaya kapitalisme dan industrialisasi menekan kaum buruh begitu kuat, hingga kaum buruh mulai melihat diri mereka sendiri sebagai objek yang mereka produksi. Pada One-Dimensional Man ia menyatakan, “Rakyat mengenali diri mereka sendiri di dalam komoditas-komoditas; mereka menemukan jiwa mereka di dalam otomobil mereka,” yang berarti kapitalisme mendegradasi manusia hingga menjadi komoditas-komoditas yang mereka ciptakan, memberikan komoditas sifat penting yang lebih dari diri sendiri.(*)
*Artikel merupakan tulisan opini